Rabu, 21 Oktober 2020

Analisis budaya Indonesia menggunakan pendekatan Hofstede dan Triandis

Analisis Negara Indonesia menggunakan pendekatan dimensional Hofstede

Negara Indonesia jika dilihat dari dimensional approach Hostede cenderung tinggi pendekatan power distance. Terdapat kesenjangan antara pemegang kuasa atau pemegang kendali dengan yang tidak memegang kuasa/kendali. Selain itu, adanya kontrol yang kuat dan kekuatan yang superior dari pemegang kuasa yang mengharuskan non-penguasa mengikuti semua arahan mengenai apa yang harus ia lakukan. Contohnya seperti masa pandemic seperti sekarang ini pemerintah mewajibkan setiap orang yang akan beraktivitas keluar rumah, wajib menggunakan masker. Maka sebagai masyarakat Indonesia, saya dan masyarakat Indonesia memakai masker ketika beraktivitas keluar rumah serta mengikuti semua arahan dari pemerintah.  

Selain itu, Indonesia memiliki Long Term Orientation yang tinggi yang artinya memiliki orientasi budaya pragmatis. Dalam masyarakat dengan orientasi pragmatis, orang percaya bahwa kebenaran sangat bergantung pada situasi, konteks dan waktu. Begitu juga dengan dimensi uncertainty avoidance. Masyarakat Indonesia mampu menempatkan dan memisahkan diri secara internal maupun eksternal. Selain itu, orang-orang sangat peduli dengan waktu, perencanaan, tidak menerka situasi ataupun masa depan.

Di Indonesia pendekatan feminine tinggi dan masculine tidak begitu rendah dapat diartikan masyarakat Indonesia terlalu fokus pada simbol kesuksesan dan mementingkan "penampilan luar". Berbeda dengan negara Eropa yang sangat rendah dalam maskulinitas dan dianggap feminine. Begitu juga di Asia, Indonesia kurang maskulin dibandingkan Jepang, Cina dan India.

Diperkuat dengan pendekatan indulgence bahwa masyarakat Indonesia tindakannya dikekang oleh norma-norma sosial. Indonesia memiliki budaya pengekangan dan memiliki kecenderungan sinisme dan pesimis.  Masyarakat dikenal dengan kolektivis tidak individualis. Dimana individu diharapkan menyesuaikan diri dengan cita-cita masyarakat dan kelompok di mana mereka berada.

Kelemahan:

·    Selalu menunggu perintah mengenai apa yang harus dilakukannya dan kapan

·         Ketika memiliki konflik, menggunakan pihak ketiga

·         Terlalu mementingkan penampilan “penampilan adalah yang utama”

·         Terlalu diatur oleh norma-norma atau aturan-aturan

            Kelebihan:

·         Mampu menyesuaikan diri dengan mudah

·         Mementingkan hubungan yang baik dengan rekan

 

     Analisis Negara Indonesia, Jepang dan Amerika dengan menggunakan pendekatan dimensional Triandis

Perbedaan:

Indonesia termasuk pendekatan kolektivistik dan vertikal. Dimana Indonesia sangat memikirkan strata atau status dalam masyarakat. Selain itu, dituntut harus patuh pada otoritas atau norma yang ada, harus loyal dan patuh pada tugas. Negara Indonesia juga memiliki pedekatan kolektivistik dan horizontal artinya masyarakat Indonesia mengutamakan kerjasama atau gotong royong dan memandang semua orang itu sama.

Jepang memiliki pendekatan kolektivistik dan horizontal yang dimana masyarakatnya mengutamakan kerja kelompok daripada kerja individu. Namun, masyarakat Jepang selalu ingin menjadi ahli dari segala ahli. Selain itu, masyarakat jepang akan melakukan pekerjaan yang sama secara terus menerus dan selalu ingin menjadi yang lebih baik dari hari kemarin. Hal tersebut dilakukan hingga mereka menjadi ahli di bidangnya dan dapat diartikan Jepang juga memiliki pendekatan individualistik dan vertikal.

Amerika termasuk negara yang pendekatannya Individualistik dan vertikal. Dimana Amerika dikenal dengan negara yang mengedepankan kemerdekaan setiap individu, semua orang ingin di pandang sebagai ahli, sangat kompetitif, cenderung mengedepankan perencanaan dan menetapkan tujuan yang pasti. Selain itu, Amerika juga menyatakan prinsip “semua orang diciptakan sama” dan percaya bahwa semua orang sejajar. Dapat diartikan, Amerika juga memiliki pendekatan kolektivis dan horizontal.

Kesamaan:

Negara Indonesia, Jepang dan Amerika memiliki kesamaan pendekatan yaitu kolektivisme. Dimana ketiga negara tersebut berpendapat bahwa kerjasama itu hal yang penting untuk dilakukan dan memandang semua orang itu sama.

 

Budaya Jawa dan  Sumatera

Perbedaan budaya Jawa dan Sumatera  diantaranya seperti:

Tingkah laku. Untuk budaya orang Jawa cenderung lemah lembut. Sedangkan untuk orang Sumatera grasak-grusuk.

Nada bicara atau tutur kata. Untuk  budaya orang Jawa cenderung pelan dan diam. Sedangkan untuk orang Sumatera lugas, langsung dan eksplisit.

Orang Jawa mempunyai tradisi pemikiraan yang unik, bersifat metafisik dan lekat dengan mistikisme atau mistisme. Tradisi pemikiran ini diaplikasikan dalam segala aspek budaya, baik yang bersifat material ataupun non-material.

Adanya perbedaan Jawa dan Sumatera mempengaruhi cara berpikir masing-masing orang Jawa dan Sumatera. Hal ini terbukti dalam penelitian Nugroho, Lestari dan Wiendijarti (2012) dimana orang sumatera memiliki budaya low context dan masculinity artinya memiliki karakteristik dalam suatu pertemuan tatap muka tanpa basa-basi dan langsung pada tujuan. Sedangkan dalam dunia kerja lebih berambisi dan merasa yakin dengan prestasi kerja. Untuk orang Jawa memiliki budaya high context dan femininity artinya memiliki karakteristik lebih suka berkomunikasi tatap muka, jika perlu dengan basa-basi dan ritual. Sedangkan dalam dunia kerja merasa kurang yakin dengan prestasi kerja dan tidak terlalu ambisius. Namun, dengan adanya perbedaan budaya tersebut diharapkan untuk memaknai dan memahami bentuk budaya yang berbeda dan pentingnya menyesuaikan diri dengan karakterisik budaya yang berbeda.


Sumber:

Fabelia.com. (20 Oktober 2020). Nilai positif budaya masyarakat Amerika Serikat di mata dunia. Diunduh dari https://www.fabelia.com/nilai-budaya-masyarakat-amerika-serikat

Hofstede-insight.com. (18 Oktober 2020). Country comparison Indonesia. diunduh dari  https://www.hofstede-insights.com/country-comparison/indonesia

Nugroho, A, B., Lestari, P., & Wiendijarti, I. 2012. Pola komunikasi antarabudaya Batak dan Jawa di Yogyakarta. Jurnal Komunikasi 1 (5), 403-418.

Simatupang, O., Lubis, L. A., & Wijaya, H. 2015. Gaya berkomunikasi dan adaptasi budaya mahasiswa Batak di Yogyakarta. Jurnal Komunikasi ASPIKOM 2 (5), 314-329.

Wima, P. (20 Oktober 2020). Prinsip hidup ala Jepang yang wajib banget kita sontek, biar maju!. Diunduh dari https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/life/inspiration/amp/pinka-wima/8-prinsip-hidup-orang-jepang

Rabu, 07 Oktober 2020

Budaya Di Indonesia: Apakah bisa berubah dan adakah yang negatif?

Budaya Di Indonesia: Apakah bisa berubah dan adakah yang negatif?


Oleh

Egi Yolanda Putri

Universitas Persada Indonesia YAI


Menurut Pujiwiyana (dalam Hamzah, 2017) budaya bisa berubah akibat dari adanya globalisasi kebudayaan yang diawali dengan peran media massa yang lebih mementingkan kepentingan pasar. Manusia atau individu tersebut hanya dianggap sebagai konsumen yang terus menerus diberikan produk kebudayaan yang bebas nilai. Adanya globalisasi budaya, selalu menimbulkan benturan antara kebudayaan tradisional yang bersifat kolektif dengan kebudayaan popular yang bersifat individual.

Dikutip dari situs kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud), pada dasarnya awal dari suatu perubahan sosial budaya adalah adanya komunikasi dari seseorang atau kelompok. Komunikasi tersebut bisa berupa penyampaikan informasi mengenai gagasan, ide, keyakinan dan hasil budaya. Perubahan budaya tersebut dapat terjadi secara cepat dan mengenai pokok-pokok kehidupan masyarakat. Adanya perubahan tersebut bisa membawa kemajuan ataupun kemunduran.

Faktor pendorong adanya perubahan budaya yaitu ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada, adanya penemuan baru (discovery dan invention), sikap terbuka terhadap perubahan, pendidikan yang maju dan keadaan masyarakat yang majemuk. Selain itu, adanya perubahan budaya dapat menimbulkan beberapa dampak yaitu kemunduran moral, kriminalitas, aksi protes dan demonstrasi.

Individu dapat merubah budaya atau tradisi yang sudah ada. Salah satunya yaitu budaya masyarakat Indonesia yang dikenal dengan rajin menyapa didunia nyata. Namun, perlahan berubah oleh budaya gadget yang lebih nyaman menyapa didunia maya.

 

Bagaimana dengan tradisi "nikah muda"?

Trend nikah muda menurut saya buruk, karena banyak sekali persepsi orang yang menganggap enteng dalam menjalani sebuah perkawinan dan masyarakat belum banyak tahu dari dampak yang akan ditimbulkan ketika nikah muda. Salah satu dampak berkaitan dengan pendidikan, sosial ekonomi, kependudukan, psikologi dan kesehatan (Qibtiyah, 2014).

Tradisi ini bisa berubah apabila pemerintah secara tegas mewajibkan individu belajar 12 tahun agar masyarakat bisa mengenyam pendidikan minimal tingkat SMA guna untuk menunda terjadinya perkawinan usia muda. Selain itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang perkawinan (khususnya batas usia menikah dan dampak yang akan ditimbulkan dari menikah muda) melalui TV, media sosial maupun selembar brosur.

Sejak bangku sekolah, alangkah baiknya juga disediakan pembahasan mengenai pacaran dan menikah muda serta dampak yang akan di timbulkan apabila anak-anak sekolah melakukannya. Hal tersebut bisa meminimalisir angka perkawinan muda. Setiap sekolah pun sebaiknya disediakan guru bimbingan konseling atau psikolog untuk mengetahui perkembangan masing-masing individu.

Dalam undang-undang perlindungan anak juga menyebutkan bahwa orang tua wajib mencegah terjadinya perkawinan anak (usia muda). Perkawinan usia muda merupakan suatu pelanggaran terhadap hak anak karena anak akan kehilangan hak menempuh pendidikan lebih tinggi, hak kesehatan dan hak anak untuk bermain dengan teman sebayanya. Secara psikologis, anak juga belum bisa berperan sebagai istri, ibu dan partner dalam hal apapun sehingga bisa berpengaruh terhadap kejiwaan serta berujung pada perceraian.


Tradisi lain yang negatif dan berada di Indonesia adalah mudik saat lebaran. Disatu sisi, mudik ketika lebaran membawa dampak positif maupun dampak negatif. Salah satu dampak negatif dari mudik lebaran adalah individu suka pamer kemewahan, boros, memacu urbanisasi dan migrasi (Aflah, 2019).

Untuk merubah tradisi tersebut, menurut saya bisa saja diubah namun lambat. Dimana hal pertama yang diperhatikan adalah pemikiran atau esensi individu mengenai mudik lebaran. Kalau mudik lebaran hanya sekedar mengobati kerinduan pada keluarga atau kampung halaman, tentu dapat dilakukan di lain waktu, di luar waktu lebaran dan tidak usah bersusah payah berlama-lama diperjalanan ketika menjelang lebaran (Arribathi dan Aini, 2018).

Kedua, apabila tradisi ini sulit diubah, maka pemerintah hendaknya memfasilitasi kebutuhan pemudik terutama transportasi (darat, laut dan udara) demi terjaga kenyamanan dan keselamatan pemudik sehingga akan dapat di tekan jumah kecelakaan yang memakan korban jiwa.

Ketiga, pemerintah harus menjamin kesejahteraan masyarakat khususnya di desa agar tidak terjadi urbanisasi dan migrasi dengan cara menyediakan lapangan kerja di desa-desa. Selain itu, bisa juga pemerintah pusat dibantu dengan pemerintah daerah sekitar untuk memberikan bantuan sosial terhadap masyarakat di desa.

 

Sumber:

Aflah, N. I. 2019. Negatif dan positif di tradisi mudik lebaran. Diunduh dari: https://www.niaga.asia/negatif-dan-positif-di-tradisi-mudik-lebaran/, 6 Oktober 2020

Arribathi, A. H., Aini, Q. 2018. Mudik dalam perspektif budaya dan agama  (kajian realistis perilaku sumber daya manusia). 4(1), 45-52.

Hamzah, M. M. 2017. Peran dan pengaruh fatwa MUI dalam arus transformasi sosial budaya di Indonesia. Jurnal Studi Agama. XVII (1), 127-154.

Qibtiyah, M. 2014. Faktor yang mempengaruhi perkawinan muda perempuan. Jurnal Biometrika dan Kependudukan. (3), 50-58.