Budaya Di Indonesia: Apakah bisa berubah dan adakah yang negatif?
Oleh
Egi Yolanda Putri
Universitas Persada Indonesia YAI
Menurut Pujiwiyana (dalam Hamzah, 2017) budaya bisa berubah akibat dari adanya globalisasi kebudayaan yang diawali dengan peran media massa yang lebih mementingkan kepentingan pasar. Manusia atau individu tersebut hanya dianggap sebagai konsumen yang terus menerus diberikan produk kebudayaan yang bebas nilai. Adanya globalisasi budaya, selalu menimbulkan benturan antara kebudayaan tradisional yang bersifat kolektif dengan kebudayaan popular yang bersifat individual.
Dikutip dari situs
kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud), pada dasarnya awal dari
suatu perubahan sosial budaya adalah adanya
komunikasi dari seseorang atau kelompok. Komunikasi tersebut bisa berupa
penyampaikan informasi mengenai gagasan, ide, keyakinan dan hasil budaya. Perubahan
budaya tersebut dapat terjadi secara cepat dan mengenai pokok-pokok kehidupan
masyarakat. Adanya perubahan tersebut bisa membawa kemajuan ataupun kemunduran.
Faktor pendorong adanya
perubahan budaya yaitu ketidakpuasan terhadap kondisi yang ada, adanya penemuan
baru (discovery dan invention), sikap terbuka terhadap perubahan, pendidikan
yang maju dan keadaan masyarakat yang majemuk. Selain itu, adanya perubahan
budaya dapat menimbulkan beberapa dampak yaitu kemunduran moral, kriminalitas,
aksi protes dan demonstrasi.
Individu dapat merubah
budaya atau tradisi yang sudah ada. Salah satunya yaitu budaya masyarakat
Indonesia yang dikenal dengan rajin menyapa didunia nyata. Namun, perlahan berubah
oleh budaya gadget yang lebih nyaman
menyapa didunia maya.
Bagaimana dengan tradisi "nikah muda"?
Trend
nikah
muda menurut saya buruk, karena banyak sekali persepsi orang yang menganggap
enteng dalam menjalani sebuah perkawinan dan masyarakat belum banyak tahu dari
dampak yang akan ditimbulkan ketika nikah muda. Salah satu dampak berkaitan
dengan pendidikan, sosial ekonomi, kependudukan, psikologi dan kesehatan
(Qibtiyah, 2014).
Tradisi ini bisa
berubah apabila pemerintah secara tegas mewajibkan individu belajar 12 tahun agar
masyarakat bisa mengenyam pendidikan minimal tingkat SMA guna untuk menunda
terjadinya perkawinan usia muda. Selain itu, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah melakukan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang perkawinan
(khususnya batas usia menikah dan dampak yang akan ditimbulkan dari menikah
muda) melalui TV, media sosial maupun selembar brosur.
Sejak bangku sekolah,
alangkah baiknya juga disediakan pembahasan mengenai pacaran dan menikah muda
serta dampak yang akan di timbulkan apabila anak-anak sekolah melakukannya. Hal
tersebut bisa meminimalisir angka perkawinan muda. Setiap sekolah pun sebaiknya
disediakan guru bimbingan konseling atau psikolog untuk mengetahui perkembangan
masing-masing individu.
Dalam undang-undang perlindungan anak juga menyebutkan bahwa orang tua wajib mencegah terjadinya perkawinan anak (usia muda). Perkawinan usia muda merupakan suatu pelanggaran terhadap hak anak karena anak akan kehilangan hak menempuh pendidikan lebih tinggi, hak kesehatan dan hak anak untuk bermain dengan teman sebayanya. Secara psikologis, anak juga belum bisa berperan sebagai istri, ibu dan partner dalam hal apapun sehingga bisa berpengaruh terhadap kejiwaan serta berujung pada perceraian.
Tradisi lain yang negatif dan berada
di Indonesia adalah mudik saat lebaran. Disatu sisi, mudik ketika lebaran
membawa dampak positif maupun dampak negatif. Salah satu dampak negatif dari
mudik lebaran adalah individu suka pamer kemewahan, boros, memacu urbanisasi
dan migrasi (Aflah, 2019).
Untuk merubah tradisi
tersebut, menurut saya bisa saja diubah namun lambat. Dimana hal pertama yang
diperhatikan adalah pemikiran atau esensi individu mengenai mudik lebaran. Kalau
mudik lebaran hanya sekedar mengobati kerinduan pada keluarga atau kampung halaman,
tentu dapat dilakukan di lain waktu, di luar waktu lebaran dan tidak usah
bersusah payah berlama-lama diperjalanan ketika menjelang lebaran (Arribathi
dan Aini, 2018).
Kedua, apabila tradisi
ini sulit diubah, maka pemerintah hendaknya memfasilitasi kebutuhan pemudik
terutama transportasi (darat, laut dan udara) demi terjaga kenyamanan dan
keselamatan pemudik sehingga akan dapat di tekan jumah kecelakaan yang memakan
korban jiwa.
Ketiga, pemerintah
harus menjamin kesejahteraan masyarakat khususnya di desa agar tidak terjadi
urbanisasi dan migrasi dengan cara menyediakan lapangan kerja di desa-desa. Selain
itu, bisa juga pemerintah pusat dibantu dengan pemerintah daerah sekitar untuk
memberikan bantuan sosial terhadap masyarakat di desa.
Sumber:
Aflah, N. I. 2019.
Negatif dan positif di tradisi mudik lebaran. Diunduh dari: https://www.niaga.asia/negatif-dan-positif-di-tradisi-mudik-lebaran/,
6 Oktober 2020
Arribathi, A. H., Aini,
Q. 2018. Mudik dalam perspektif budaya dan agama (kajian realistis perilaku sumber daya manusia).
4(1), 45-52.
Hamzah, M. M. 2017.
Peran dan pengaruh fatwa MUI dalam arus transformasi sosial budaya di
Indonesia. Jurnal Studi Agama. XVII (1),
127-154.
Qibtiyah, M. 2014.
Faktor yang mempengaruhi perkawinan muda perempuan. Jurnal Biometrika dan
Kependudukan. (3), 50-58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar