Sistem pendidikan di Indonesia
Tiap negara memiliki
sistem pendidikan yang berbeda-beda. Hal ini menyesuaikan dengan tipe peserta
didik tiap negara. Sistem pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan
negara lain lebih
banyak diwarnai dengan persaingan
dan beban pembelajaran yang banyak. Dalam hal ini, peserta didik tidak
memfokuskan potensi dan skill yang ada di dalam dirinya. Melainkan diwajibkan untuk mempelajari semua
hal yang sama dari satu peserta didik dengan peserta didik lainnya (dalam
Afifah, 2020).
Di Indonesia juga
banyak sekali mata pelajaran utama yang harus di kuasai oleh peserta didik
dan diharuskan mendapatkan nilai yang bagus seperti mata pelajaran bahasa,
pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, ilmu pengetahuan sosial, matematika, ilmu pengetahuan
alam, olahraga, keterampilan atau
kejuruan, seni dan
budaya, serta muatan lokal. Selain itu, hampir semua proses
belajar mengajar diadakan di dalam kelas. Peserta didik hanya duduk manis
dibangku, menyimak dan pendidik berceramah didepan kelas. Biasanya setelah selesai pembelajaran pendidik
selalu memberikan tugas untuk dikerjakan oleh peserta didik di rumah (memberikan
PR). Hal ini membuat peserta didik menjadi tidak menikmati sekolahnya. Di
sekolah ia sudah menghabiskan waktu kurang lebih delapan sampai sembilan jam
untuk belajar dan ketika sudah sampai dirumah, peserta didik diharuskan untuk
mengerjakan tugas yang diberikan oleh pendidik. Sehingga waktu untuk me time dan waktu bersama keluarga habis
karena jam sekolah yang panjang dan ditambah dengan waktu untuk mengerjakan
tugas.
Indonesia sering kali
mengalami perubahan sistem pendidikan yang mengakibatkan kebingungan bagi
peserta didik dan pendidik. Contohnya seperti adanya perubahan kurikulum dari KTSP
menjadi kurikulum 2013 yang secara mendadak. Di dalam kurikulum 2013 peserta didik ditekankan untuk
belajar dengan sistem student center
dimana peserta didik akan membuat
kelompok belajar dan
diharuskan untuk terus
aktif di dalam
kelas. Hal tersebut tidak biasa dilakukan oleh peserta didik dan tenaga
pendidik karena umumnya pembelajaran di Indonesia menjalankan sistem ceramah
yakni pendidik menjelaskan dan peserta didik menyimak. Kalaupun mau menjalankan
kurikulum 2013, harus memerlukan kesiapan yang matang baik peserta didik maupun
tenaga pendidik.
Selain sering berganti
kurikulum, di Indonesia juga terdapat masalah yaitu mengenai sistem zonasi.
Sistem zonasi tersebut menimbulkan berbagai padangan yang baik maupun tidak
baik. Dari sisi baik, sistem zonasi dapat memberikan keadilan bagi semua
masyarakat. Namun, hal ini bagi saya belum juga adil. Masih banyak sekali
anak-anak yang tidak dapat menimba ilmu dengan baik dengan alasan membayar uang
sekolah yang mahal meskipun itu sekolah negeri. Sistem zonasi juga dapat
menimbulkan motivasi belajar siswa yang
menurun. Hal ini terjadi karena harapan peserta didik untuk mendapatkan sekolah
yang diinginkannya tidak dapat tercapai karena harus sesuai dengan domisili
peserta didik tinggal. Kekurangan lainnya juga dapat memunculkan kecurangan
seperti adanya praktik jual beli kursi agar dapat bersekolah yang diinginkan
meskipun berbeda dengan domisili asalnya.
Pendidikan di Indonesia
kurang memberikan fasilitas belajar secara gratis. Walaupun tiap pergantian pemerintahan
sering kali berjanji untuk menganggarkan sejumlah bantuan untuk sekolah. Namun
jarang sekali terlihat wujudnya. Salah satu contohnya adalah dana BOS tetapi
masih banyak sekali kekurangannya seperti keterlambatan datangnya buku-buku di
sekolah dan tetap harus membayar uang buku meskipun dana BOS sehingga kegiatan
belajar terganggu dan terhambat. Fasilitas lainnya adalah seperti perpustakaan
dan belum banyak sekolah-sekolah yang dilengkapi fasilitas WIFI dan di daerah-daerah
tertinggal juga belum adanya fasilitas yang mendukung untuk
kegiatan belajar mengajar.
Di Indonesia sendiri sekolah-sekolah
yang berkualitas baik identik dengan anak-anak yang mempunyai orangtua yang
berpenghasilan tinggi, bersekolah di swasta dan biaya yang mahal. Sehingga akses
untuk menempuh pendidikan yang
berkualitas bagi masyarakat
yang berpenghasilan di bawah
rata-rata dinilai cukup memberatkan dan
memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya.
Di Indonesia, umumnya
peserta didik malu untuk bertanya dan berpendapat. Karena ketika peserta didik
mencoba untuk berpendapat, umumnya dilihat oleh peserta didik lain menjadi
individu yang “sok aktif dan mau cari muka oleh tenaga pendidiknya”, terkadang
juga mendapat perlakuan yang sinis ketika ia mencoba berpedapat. Hal tersebut
yang menjadi kebiasaan negatif siswa di Indonesia dan menjadi kebiasaan peserta
didik. Selain itu, peserta didik selalu bilang tidak bisa ketika mendapatkan
sebuah soal atau pekerjaan. Hal tersebut menjadikan dirinya malas, tidak mau
mencoba dan tidak berani untuk mengerjakan soal atau pekerjaan tersebut. Di
Indonesia juga masih banyak terjadi perundungan. Perundungan yang dapat terjadi secara emosional, fisik, verbal
maupun secara cyber.
Di Indonesia kerapkali
hasil menjadi hal yang utama dan melupakan prosesnya. Padahal, yang terpenting
adalah proses peserta didik tersebut mau mencoba dan mau mengerjakan suatu hal
dari tenaga pendidik. Sering kali peserta didik dan tenaga pendidik mendefinisikan
anak yang pintar adalah anak yang mendapatkan nilai yang bagus. Namun, melupakan
proses yang peserta didik lakukan dalam mencapai hasilnya. Terkadang peserta
didik juga hanya melihat dari hasil yang didapatkannya harus sangat baik,
mendapatkan nilai yang bagus dan tidak boleh ada orang lain yang menyamainya.
Ketika siswa tersebut beranggapan bahwa medapatkan nilai yang besar atau bagus
itu pasti akan lulus, maka siswa akan melupakan apakah ia sudah memahami mata
pelajarannya dengan baik atau belum. Bisa jadi, peserta didik untuk mendapatkan
nilai yang bagus tersebut dengan cara mensontek.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia seperti:
- Banyak kompetisi dan banyak perubahan-perubahan yang sifatnya mendadak.
- Ada sistem tinggal kelas dan perangkingan.
- Jam belajar yang panjang (setiap minggu kurang lebih menghabiskan lima hari dan 40 jam untuk belajar).
- Pembelajaran lebih banyak dikelas dan menggunakan metode ceramah.
- Pemberian tugas hampir setiap tatap muka atau tatap maya.
- Masih banyak perundungan di sekolah.
- Siswa Indonesia pemalu, tidak berani mencoba dan malas.
- Mengutamakan hasil daripada proses.
Untuk mengurangi hal-hal yang negatif di atas, saya berpendapat bahwa sistem pendidikan yang baik untuk Indonesia adalah
- Seleksi masuk sekolah tidak terlalu rumit persyaratannya dan harus dipersiapkan secara detail dan jelas.
- Kompetensi tenaga pendidik harus baik tidak hanya Diploma atau Sarjana Pendidikan aja yang harus dimilikinya. Tetapi tenaga pendidik juga harus kreatif dan inovatif dalam menyiapkan pembelajaran yang asik dan mudah dipahami oleh peserta didik.
- Mengurangi jam belajar sekolah. Sebaiknya tenaga pendidik dan peserta didik berfokus pada kompetensi yang diperlukan untuk ketingkat yang lebih tinggi.
- Mengenalkan mata pelajaran pilihan dan praktik yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
- Tenaga pendidik tidak boleh berpihak kepada peserta didik yang pintar aja. Tetapi, harus bersikap adil terhadap semua peserta didik. Sehingga tidak ada peserta didik yang terabaikan. Tenaga pendidik dan peserta didik diharuskan memahami perbedaan dan tidak berprilaku diskriminatif.
- Perlunya persiapan yang matang mengenai kegiatan mengajar seperti adanya rencana pembelajaran tiap minggunya, adanya media atau perangkat yang menunjang pembelajaran dan evaluasi pembelajaran.
- Memberikan apresiasi. Tenaga pengajar perlu mengapresiasi pekerjaan peserta didik agar dirinya merasa dihargai dan diperhatikan. Bentuk apresiasi tidak selalu dengan memberikan hadiah. Bisa juga dengan memberikan pujian dan perhatian kepada siswa yang sudah berani atau mau mencoba dalam berpendapat dan mengerjakan sesuatu.
- Menetapkan rules dan memberikan contoh yang jelas dalam pembelajaran agar suasana kelas menjadi kondusif dan peserta didik dapat belajar dengan disiplin, komitmen dan bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran.
Sumber
Afifah, N. (2020).
Sistem pendidikan di Indonesia. ResearchGate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar